Hijrah, Luka, dan Kota Kecil yang Diam
Ada masa ketika aku tak benar-benar hidup, hanya bergerak karena harus, bernafas karena belum selesai. Pagi itu bukan permulaan, hanya kelanjutan dari malam-malam panjang yang dipenuhi pertanyaan, tentang hutang yang belum lunas, tentang proyek yang tak juga rampung, dan tentang diriku sendiri yang perlahan hilang di balik layar-layar kerja. Aku masih tinggal di kota lama, tempat segala beban dikumpulkan tanpa pintu darurat. Di sebuah perumahan kecil yang kusebut rumah, padahal yang tinggal di dalamnya hanyalah lelah, dan diam-diam — air mata. Lalu datanglah kabar dari tempat yang asing: sebuah perusahaan baru, pekerjaan baru, dan entah kenapa — keputusan untuk membawa seluruh semestaku ikut serta. Perempuan yang memanggilku pulang setiap malam ikut kubawa. Seorang anak kecil berumur tiga tahun, dan seorang bayi yang bahkan belum sempat memahami arti berpindah. Kami pergi, bukan untuk liburan, tapi untuk mencari nafas yang tidak tersekat. ...