Hijrah, Luka, dan Kota Kecil yang Diam

Ada masa ketika aku tak benar-benar hidup,
hanya bergerak karena harus,
bernafas karena belum selesai.

Pagi itu bukan permulaan,
hanya kelanjutan dari malam-malam panjang
yang dipenuhi pertanyaan,
tentang hutang yang belum lunas,
tentang proyek yang tak juga rampung,
dan tentang diriku sendiri yang perlahan hilang di balik layar-layar kerja.

Aku masih tinggal di kota lama,
tempat segala beban dikumpulkan tanpa pintu darurat.
Di sebuah perumahan kecil yang kusebut rumah,
padahal yang tinggal di dalamnya hanyalah lelah,
dan diam-diam — air mata.

Lalu datanglah kabar dari tempat yang asing:
sebuah perusahaan baru,
pekerjaan baru,
dan entah kenapa — keputusan untuk membawa seluruh semestaku ikut serta.

Perempuan yang memanggilku pulang setiap malam ikut kubawa.
Seorang anak kecil berumur tiga tahun,
dan seorang bayi yang bahkan belum sempat memahami arti berpindah.

Kami pergi,
bukan untuk liburan,
tapi untuk mencari nafas yang tidak tersekat.

"Kos-kosan mewah" — begitu katanya.
Tapi tak ada kemewahan di satu ruangan sempit
tempat tangis anak dan letih istri bercampur jadi satu.
Empat juta rupiah sebulan,
tapi tak bisa membeli ruang tenang bagi seorang ibu muda
yang harus mengurus dua anak, sementara suaminya sibuk berpura-pura kuat.

Dua bulan kami tinggal di sana.
Dan setiap malam, aku bertanya:
"Apakah ini bentuk pengorbanan, atau pelarian yang kubuat terlihat seperti perjuangan?"

Aku kembali ke kota lama.
Menempuh jarak yang tak lagi kutahu ukurannya.
Pulang pergi dari Cibinong ke Jakarta, tubuhku menyusutkan waktu,
tapi tak juga bisa mengisi kekosongan yang kupikul.

Lalu datang keputusan itu —
bukan karena yakin, tapi karena lelah.
Aku minta tinggal di kota kecil yang sebelumnya tak pernah kukenal.

Bengkulu.
Kota yang tak pernah menjanjikan apa pun,
tapi diam-diam memberiku ruang.

Kota ini sunyi, tapi tak sepi.
Ia diam, tapi tak mematikan.
Ia tidak bertanya tentang masa laluku,
tidak memintaku menjelaskan mengapa aku begitu rusak saat datang.
Ia hanya menerima.
Seperti bumi yang tak pernah mengusir akar baru.

Di kota kecil ini, aku membangun ulang hidup.
Satu demi satu —
anak-anakku mulai tumbuh,
istriku mulai tersenyum lagi,
dan aku mulai percaya bahwa luka pun bisa jadi lahan tumbuh
asal diberi cukup cahaya.

Kini, aku tinggal di kota
di mana segala hal bisa dicapai dalam lima belas menit.
Termasuk ketenangan.
Dan mungkin, pengampunan.

Aku datang ke sini dengan kesalahan yang banyak,
dengan tubuh penuh luka,
dan hati yang koyak.
Tapi kota ini tak bertanya.
Ia hanya membiarkan aku diam,
sampai aku sendiri yang ingin bersuara.

Dan di sinilah aku sekarang,
masih belajar memaafkan diriku sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Jahiliyah Modern: Ketika Dunia Kembali Buta oleh Kekuasaan, Harta, dan Syahwat

Di Balik Kursi Kekuasaan