Di Balik Kursi Kekuasaan

 Di singgasana mereka duduk tenang,

dengan lidah manis dan senyum terang.
Janji-janji dilukis di langit harapan,
namun jejaknya tenggelam di lumpur kepalsuan.

Katanya tak ingin berkuasa,
tapi langkahnya menuju tahta.
Katanya hanya rakyat di hati,
tapi kekuasaan dipeluk hingga mati.

Ijazah dipertanyakan,
tapi yang dijawab hanyalah diam dan pengalihan.
Yang bertanya disebut pengganggu,
yang bersuara dicap pembenci tanpa ragu.

Di pasar kata dan pasar suara,
segala bisa dibeli: berita, opini, bahkan suara.
Kebenaran dikemas dalam amplop,
dan keadilan dikebiri oleh protokol dan mikrofon.

Tapi kami tahu,
dulu pun Firaun pernah mengaku tuhan,
Qarun pernah membuat bumi tunduk oleh harta,
namun mereka tenggelam dalam sejarah yang hina.

Karena dunia ini hanya panggung sementara,
dan setiap aktor akan ditarik tirainya.

Kelak,
bukan kampanye yang ditimbang,
tapi kejujuran.
Bukan suara terbanyak yang menang,
tapi nurani yang tidak berkhianat.

Dan kami — rakyat yang kamu remehkan —
masih punya doa,
masih punya sabar,
dan masih percaya:
Tuhan tak pernah tidur.

“Aku, saksi masa lalu yang tak pernah pulih. Penulis kerinduan, pengagum senja, dan pecinta kenangan yang tak pernah hilang.”

– Aidan Reza Pratama

Comments

Popular posts from this blog

Hijrah, Luka, dan Kota Kecil yang Diam

Jahiliyah Modern: Ketika Dunia Kembali Buta oleh Kekuasaan, Harta, dan Syahwat