30 Tahun: Refleksi, Luka, dan Langkah Baru


 “Waktu tak pernah benar-benar berhenti, tapi ada saatnya kita perlu diam untuk mendengar suara hati.”

Tiga puluh tahun. Angka yang sederhana, tapi di dalamnya terkandung perjalanan yang tak bisa diringkas dalam satu kalimat. Di usia ini, aku mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang seberapa cepat kita berlari, tapi seberapa dalam kita mengerti arah langkah kita.

Aku pernah mencoba banyak hal. Dari pekerjaan serabutan yang penting cukup buat makan, sampai amanah yang mengajarkan arti tanggung jawab lebih besar. Setiap peran datang dengan tantangannya sendiri, dan jujur saja—tak semuanya terasa mulus atau menyenangkan.

Ada masa-masa ketika hidup terasa berat. Aku kehilangan ibu di usia yang belum siap. Sejak itu, banyak hal terasa berubah. Ada adik yang harus ikut kuat meski mungkin tak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang kami jalani. Aku mencoba berdiri tegak, tapi aku tahu—ada bagian dari diriku yang tertinggal di masa lalu.

Tapi waktu terus berjalan. Dan aku belajar untuk menerima, bukan melupakan. Aku belajar memeluk luka, bukan menyangkalnya. Karena ternyata, dari luka-luka itu aku mengenal diriku lebih utuh.

Hari ini, aku tidak punya jawaban untuk semua pertanyaan. Tapi aku punya tekad untuk terus belajar dan berbagi. Aku ingin hidup yang berarti—bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk orang-orang yang pernah hadir dan menguatkanku di sepanjang jalan.

Mungkin ini bukan cerita luar biasa. Tapi ini nyata. Dan kalau kamu membaca ini, mungkin kita sedang sama-sama belajar menerima dan memperbaiki.

Mari kita mulai bab baru ini—dengan hati yang lebih jernih, langkah yang lebih tenang, dan harapan yang tak pernah padam.

“Aku, saksi masa lalu yang tak pernah pulih. Penulis kerinduan, pengagum senja, dan pecinta kenangan yang tak pernah hilang.”

– ARP

Comments

Popular posts from this blog

Hijrah, Luka, dan Kota Kecil yang Diam

Jahiliyah Modern: Ketika Dunia Kembali Buta oleh Kekuasaan, Harta, dan Syahwat

Di Balik Kursi Kekuasaan