Posts

Dengan Waktu, Kenangan Itu Tetap Tinggal

Dengan Waktu, Kenangan Itu Tetap Tinggal – Nostalgia Seal Online Dengan Waktu, Kenangan Itu Tetap Tinggal Seal Online — Lyto Elim Town BGM: “Avec le TeMPs” Sebuah curhat nostalgia tentang masa SMP, warnet, dan lagu latar game yang rasanya seperti pelukan—membawa pulang ke sore yang tak pernah habis. Dulu, aku punya kebiasaan yang mungkin orang bilang gila: hampir setiap hari sepulang sekolah, aku mampir ke warnet hanya untuk main game online favoritku saat itu— Seal Online dari Lyto. Minimal paket 2 jam, tapi kalau pulang sekolah lebih cepat, aku bisa duduk di kursi warnet sampai 4 jam. Ada kalanya, demi bisa berlama-lama di dunia itu, aku bahkan rela bolos sekolah. Waktu itu, media sosial yang populer masih Friendster , sementara Facebook baru mulai muncul. Tidak ada TikTok, Instagram, apalagi Path yang sempat viral di awal 2010-an. Kecepatan ...

Jahiliyah Modern: Ketika Dunia Kembali Buta oleh Kekuasaan, Harta, dan Syahwat

Image
Di balik gemerlap lampu kota, gedung pencakar langit, dan kemajuan teknologi, dunia hari ini perlahan — atau mungkin dengan cepat — meluncur kembali ke dalam lubang kegelapan yang dahulu pernah disebut: zaman jahiliyah . Zaman di mana manusia menuhankan kekuasaan, mengejar harta tanpa batas, dan menjadikan wanita sebagai objek hiburan. Bedanya, kini semua itu dibungkus dalam kemasan modern: politik elegan, bisnis raksasa, dan dunia hiburan yang gemerlap. Kekuasaan yang Diperebutkan dengan Cara Jahat Jika di masa lalu kekuasaan direbut dengan pedang dan kuda perang, hari ini direbut dengan politik kotor, pencitraan palsu, dan korupsi yang sistemik . Rakyat menjadi pion. Kebenaran dibungkam dengan uang. Yang jujur dipojokkan, yang licik diberi panggung. Di negeri-negeri yang mengaku demokrasi, suara rakyat dibeli. Janji ditebar saat kampanye, lalu dilupakan saat duduk di kursi empuk. Inilah wajah jahiliyah modern , yang mengenakan jas mahal tapi hatinya serendah tanah. Harta yang Dirampa...

Di Balik Kursi Kekuasaan

 Di singgasana mereka duduk tenang, dengan lidah manis dan senyum terang. Janji-janji dilukis di langit harapan, namun jejaknya tenggelam di lumpur kepalsuan. Katanya tak ingin berkuasa, tapi langkahnya menuju tahta. Katanya hanya rakyat di hati, tapi kekuasaan dipeluk hingga mati. Ijazah dipertanyakan, tapi yang dijawab hanyalah diam dan pengalihan. Yang bertanya disebut pengganggu, yang bersuara dicap pembenci tanpa ragu. Di pasar kata dan pasar suara, segala bisa dibeli: berita, opini, bahkan suara. Kebenaran dikemas dalam amplop, dan keadilan dikebiri oleh protokol dan mikrofon. Tapi kami tahu, dulu pun Firaun pernah mengaku tuhan, Qarun pernah membuat bumi tunduk oleh harta, namun mereka tenggelam dalam sejarah yang hina. Karena dunia ini hanya panggung sementara, dan setiap aktor akan ditarik tirainya. Kelak, bukan kampanye yang ditimbang, tapi kejujuran. Bukan suara terbanyak yang menang, tapi nurani yang tidak berkhianat. Dan kami — rakyat yang kamu remehkan — masih ...

30 Tahun: Refleksi, Luka, dan Langkah Baru

  “Waktu tak pernah benar-benar berhenti, tapi ada saatnya kita perlu diam untuk mendengar suara hati.” Tiga puluh tahun. Angka yang sederhana, tapi di dalamnya terkandung perjalanan yang tak bisa diringkas dalam satu kalimat. Di usia ini, aku mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang seberapa cepat kita berlari, tapi seberapa dalam kita mengerti arah langkah kita. Aku pernah mencoba banyak hal. Dari pekerjaan serabutan yang penting cukup buat makan, sampai amanah yang mengajarkan arti tanggung jawab lebih besar. Setiap peran datang dengan tantangannya sendiri, dan jujur saja—tak semuanya terasa mulus atau menyenangkan. Ada masa-masa ketika hidup terasa berat. Aku kehilangan ibu di usia yang belum siap. Sejak itu, banyak hal terasa berubah. Ada adik yang harus ikut kuat meski mungkin tak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang kami jalani. Aku mencoba berdiri tegak, tapi aku tahu—ada bagian dari diriku yang tertinggal di masa lalu. Tapi waktu terus berjalan. Dan aku be...

Hijrah, Luka, dan Kota Kecil yang Diam

Ada masa ketika aku tak benar-benar hidup, hanya bergerak karena harus, bernafas karena belum selesai. Pagi itu bukan permulaan, hanya kelanjutan dari malam-malam panjang yang dipenuhi pertanyaan, tentang hutang yang belum lunas, tentang proyek yang tak juga rampung, dan tentang diriku sendiri yang perlahan hilang di balik layar-layar kerja. Aku masih tinggal di kota lama, tempat segala beban dikumpulkan tanpa pintu darurat. Di sebuah perumahan kecil yang kusebut rumah, padahal yang tinggal di dalamnya hanyalah lelah, dan diam-diam — air mata. Lalu datanglah kabar dari tempat yang asing: sebuah perusahaan baru, pekerjaan baru, dan entah kenapa — keputusan untuk membawa seluruh semestaku ikut serta. Perempuan yang memanggilku pulang setiap malam ikut kubawa. Seorang anak kecil berumur tiga tahun, dan seorang bayi yang bahkan belum sempat memahami arti berpindah. Kami pergi, bukan untuk liburan, tapi untuk mencari nafas yang tidak tersekat. ...